REVIEW: Sabtu Bersama Bapak
Sabtu Bersama Bapak, Adhitya Mulya, Jakarta: GagasMedia, 278 hlm. |
JIka ingin menilai seseorang, jangan nilai dia dari bagaimana dia berinteraksi dengan kita, karena itu bisa saja tertutup topeng. Tapi nilai dia dari bagaimana orang itu berinteraksi dengan orang-orang yang dia sayang. (hal. 35-36)
Dalam hidup kalian mungkin akan datang beberapa orang berkata, "Prestasi akademis itu gak penting. Yang penting attitude." ..... Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi buruk. Prestasi akademis yang baik bukan segalanya. Tapi memang membukakan lebih banyak pintu, untuk memperlihatkan kualitas kita yang lain. (hal. 51)
Ketika orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk, mereka akan selalu punya pilihan untuk cari kerja yang lain. Atau paling buruk, resign dan menganggur. Intinya, selalu ada pilihan untuk tidak berurusan dengan orang buruk. Anak? Mereka tidak pernah minta dilahirkan oleh orangtua buruk. Dan ketika mereka mendapatkan orangtua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya. (hal. 60)
... bahwa meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri, bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan. (hal. 80)
Ada orang yang merugikan keluarga yang menyayangi mereka. Ada orang yang hanya merugikan diri sendiri. Ada orang yang berguna untuk diri diri. Ada orang yang berhasil menjadi berguna untuk keluarganya. Terakhir adalah orang-orang yang berguna bagi orang lain. (hal. 86)
Menjadi panutan bukan tugas anak sulung -- kepada adik-adiknya. Menjadi panutan adalah tugas orangtua -- untuk semua anak. (hal.106)
Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai. Tidak datang dari barang yang kita punya. Di keluarga kita, nilai kita tidak datang dari barang. (hal. 119)
Harga dari diri kita, datang dari akhlak kita. Anak yang jujur. Anak yang baik. Anak yang berani bilang 'Saya benar' ketika benar. Anak yang berani bilang 'Maaf' ketika salah. Anak yang berguna bagi dirinya, dan orang lain. Harga dari diri kamu datang dari dalam hati kamu dan berdampak ke orang luar. Bukan dari barang/orang luar, berdampak ke dalam hati. (hal. 120)
Kang, ketika kalian udah gede akan ada masanya kalian harus melawan orang. Yang lebih besar, lebih kuat dari kalian. Dan akan ada masanya, kalian gak punya pilihan lain selain melawan, dan menang. Akan datang juga Kang, masanya semua orang tidak akan membiarkan kalian menang. Jadi, kalian harus pintar. Kalian harus kuat. Kalian harus bisa berdiri dan menang dengan kaki-kaki sendiri. (hal. 130-131)
Carilah pasangan yang dapat menjadi perhiasan dunia dan akhirat. (hal. 180)
Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain. (hal. 217)
Katika seorang laki-laki dan perempuan menikah, laki-laki itu meminta banyak dari perempuan.
Saya pilih kamu. Tolong pilih saya, untuk menghabiskan sisa hidup kamu. Dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu pada saya. Dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir dan batin. Pindahkan baktimu. Tidak lagi baktimu kepada orangtuamu. Baktimu sekarang pada saya. (hal. 220-221)
Pemimpin keluarga macam apa yang minta istrinya percaya sama suami, tapi dia sendiri menyembunyikan nafkahnya. Nafkah suami itu hak keluarga, lho. Di keluarga saya, saat seseorang menjadi kepala keluarga, dia bertanggung jawab lahir batin akan kecukupan dan kebahagiaan keluarga. Sekarang dan nanti. (hal. 225)
Kenapa sih? Kenapaaa? Salahku apaaah?
Oiya, btw buku ini udah difilmin. Filmnya sebagus bukunya nggak sih? Ah paling sebentar lagi diputer di tipi, yak. *PLAK!*
Wassalamualaikum
Siap a?
ReplyDelete