UN Dihapuskan? Yay or Nay? (Part.1)

Mar 25, 2019

UN Dihapuskan? Yay or Nay? (Part.1)


Assalamualaikum

Hae.
Rabu, 17 Maret 2019 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia ada debat calon wakil presiden. Di atas panggung ada KH. Ma'ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno. Topiknya tentang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial dan budaya.
Wow.
Yang pertama terlintas ketika tau ada debat cawapres adalah 'kenapa?'
Kenapa tumben banget debat cawapresnya dipisah? Biasanya kan jadi satu barengan sama debat capres ya kan? Apa pemilu tahun ini kita bisa milih capres dan cawapres semau kita? Misal pengennya nyoblos capres nomor 01 terus cawapresnya nomor 02 gegara pas liat debat ngeliat capresnya bagusan nomor 01, tapi cawapresnya nomor 02.
Pun sebaliknya.

Sumber: dari sini

Oke, tapi postingan kali ini bukan mau ikut-ikutan nyemplung ke dunia politik maupun menampilkan kecenderungan ke salah satu calon. Bukan. Toh yang punya blog ini sesungguhnya salah satu swing voter yang masih belum yaqueen sama kedua pasang calon.
Tolong jangan bully akuh..


Yang pengen dibahas saat ini adalah pernyataan salah satu cawapres yang menyebutkan bahwa akan menghentikan Ujian Nasional dan akan diganti dengan penelusuran minat dan bakat.
Menarik nih.
YES OR NO?


Mari kita bahas dari kacamata seorang anak muda yang sok tau pernah jadi murid dan sekarang jadi pendidik..
Ashek.


Sebenernya isu tentang penghapusan UN ini udah ada beberapa tahun silam. Bahkan ketika pemilik blog ini masih sekolah. Entah jaman putih biru atau jaman putih abu-abu. Lupa.
Dulu waktu denger kabar itu, sebagai anak sekolahan yang belum punya pikiran jauh ke depan, rasanya bingung dan sedih aja gitu. Beneran deh. Yang ada di pikiran waktu itu adalah lah terus buat apaan capek belajar lama-lama? Terus gimana caranya biar bisa masuk sekolah yang bagus kalau ndak pake nilai UN?

Karena sejujurnya dengan UN alias UAN (istilah jaman dulu) itu bisa bikin semangat belajar penulis blog ini naik. Dengan kata lain UN jadi alasan untuk belajar. Jadi ada motivasi untuk dapet nilai tinggi biar bisa masuk sekolah negeri bergengsi. Iya, kalo ndak ada UN belajarnya mah asal-asalan.
Makanya bingung aja waktu dibilang UN mau dihapus..


Tapi semakin berjalannya waktu, semakin banyak pengalaman dan pelajaran yang didapatkan, akhirnya bisa mengerti kalau sebenernya pendidikan yang sesungguhnya ndak kayak gitu..


Sayangnya mereka bilang UN ndak bisa dihapus karena itu amanah dari Undang-Undang (UU) terkait Standar Pendidikan Nasional. Mereka pun berdalih sampai saat ini pelaksanaan UN udah direformasi, dimana bukan jadi faktor kelulusan lagi. Tapi apa udah cukup? Kenapa harus distandardisasi padahal kenyataannya secara aspek daya dukung dan intake siswa beda-beda?
Eh, bentar...
Mereka itu siapa?
Coba cari di gugel.


FYI, di Finlandia mereka ndak menerapkan UN untuk jadi bagian dari pendidikan. Tapi negaranya bisa jadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Mereka cuma ada satu tes standar yang wajib diikutin ketika usianya udah 16 tahun. Udah itu aja. Selebihnya ndak ada PR ataupun ulangan.


Oke, mulai sok pinter -__-


Kalaupun UN tetap mau diadakan nih ya, kenapa ndak tiap hari guru dan siswanya belajar soal-soal UN di sekolah. Istilah kerennya drilling. Toh soal-soal UN tiap tahun indikatornya hampir itu-itu aja kan. Ndak perlu lah nunggu 6 bulan sebelum UN untuk intesif UN. Nanti kalah loh sama bimbel-bimbel di luar sana yang nawarin harga jutaan padahal isinya pembahasan soal doang.


Tapi bukan itu kan tujuan pendidikan?

Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sayangnya pendidikan saat ini masih berfokus pada teori, hafalan, dan angka di atas kertas. Dimana sebuah angka bisa jadi standar kebanggaan. Bahkan ndak jarang ada oknum guru yang ngasih bocoran soal biar siswanya dapet nilai yang bagus. Bukan cuma ketika UN, pun ketika ulangan harian. Tujuan apa? Biar ndak diprotes orang tua, biar reputasinya bagus, biar ndak capek bikin remedial, biar siswanya bangga walaupun dengan cara yang tidak dibenarkan.
Emang ada kayak gitu?
Banyak.


Tapi ndak serta merta kita boleh nyalahin gurunya begitu aja. Banyak faktor loh ternyata yang mendasari itu semua. Materi yang begitu banyak, jam pelajaran yang terbatas, administrasi guru yang seabrek, sistem penilaian yang makin riweuh, tuntutan standar nilai yang ditetapkan sekolah, tuntutan orang tua murid, dsb. yang akhirnya membuat guru-guru memutuskan untuk potong kompas.


Sedih ya?
Tapi itulah kenyataan di lapangan.
Jadi buat orang tua yang baca tulisan ini, jangan bangga dulu kalau nilai anaknya bagus. Dan jangan suka ngasih kritik berlebihan ke guru sebelum nyobain ngajar.


Lanjut lagi.
Jadi sebenernya yang salah apa?
Yang perlu diperhatikan apa?


Hmm..
Apa ya..
Pembenahan kurikulum sih.
Kurikulum kita terlalu padat tapi kurang tepat.


Oke, mulai sok tau lagi -___-


Begini..
Di Jepang, pendidikan adab itu jadi fokus pertama sebelum mulai belajar ilmu pengetahuan. Tiga tahun pertama di sekolah yang dipelajari adalah tentang cara menghargai diri sendiri dan orang lain, membantu sesama, cara mengantri, cara bersikap di tempat umum, dan lain sebagainya yang emang berguna dalam kehidupan.


Di Finlandia, anak-anak baru boleh sekolah ketika usia 7 tahun. Sebelum nyampe di usia itu mereka dilarang untuk sekolah. Ndak kayak di Indonesia, anak-anak udah diajak berlomba-lomba untuk sekolah sedini mungkin. Terus apa yang dipelajarin di Finlandia? Untuk tingkat elementary school, mereka fokus di reading, writing, dan comperhension skill. Dengan jam pelajaran yang pendek, dan istirahat yang panjang (total 75 menit sehari).


Lain halnya di Indonesia. Pelajaran anak kelas 1 SD sekarang aja udah rumit. Belum lagi kalau harus ikut sekolah yang fullday. Dengan jam belajar yang super panjang, dan istirahat ala kadar, makin pusing lah itu kepala anak. Makanya makin banyak aja kan berita siswa yang 'berontak' di sekolah. Akhirnya guru juga yang jadi kambing hitamnya. Siswa mukul gurunya lah, siswa nantangin gurunya lah, guru lagi ngajar siswanya malah ngerokok di kelas lah, joget-joget ndak pantas di depan gurunya lah, dan masih banyak berita yang ndak ngenakin di luar sana.
Miris..
Padahal jaman jadi siswa dulu mau duduk di bangku guru aja rasanya takut ya..


Tapi kan sebagai guru punya hak dong untuk tegas?
Tidak semudah itu, Ferguso..
Ngadepin anak milenial sama aja kayak ngadepin orang tuanya. Bisa-bisa guru yang dituntut balik kalo kelewat tegas. Entah kenapa, kepercayaan orang tua ke sekolah dewasa ini tuh makin berkurang. Kalo dulu anaknya salah terus dinasehiatin sama gurunya, orang tuanya minta maaf ke gurunya terus anaknya ikut dinasehatin.
Sekarang mah boro-boro...
Anaknya yang salah, gurunya yang dimarahin.
Duh, jangan gitu ya buibuk pakbapak...

Adab sebelum ilmu itu penting.


Belum selesai yes. Kita bersambung ke part.2...


Wassalamualaikum

 

0 comments :

Post a Comment

Maaf, wanita cantik yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan. Silakan tinggalkan pesan anda. Atau kirimkan pulsa ke nomor baru saya. Jangan ditelepon. Saya sedang di rumah pak polisi. Terima kasih :)